Halaman

Ridho terhadap Takdir Allah

RIDHO TERHADAP TAKDIR ALLAH

Ada dua sikap yang muncul dari seorang hamba ketika menyikapi sesuatu yang tidak disukai: ridho dan sabar

Yang dimaksud dengan ridho adalah sebuah keutamaan yang disunahkan untuk dia kerjakan. Sedangkan sabar merupakan sesuatu yang wajib dikerjakan oleh seorang muslim. Orang ridho terkadang memperhatikan bahwa musibah yang diterima seorang hamba mengandung hikmah dari Dzat Yang memberikan musibah dan dan kebaikan untuk dirinya. Orang yang ridho tidak berburuk sangka terhadap takdir-Nya. Bahkan terkadang dia juga memperhatikan kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Dzat Yang memberi musibah tersebut. Dia akan hanyut untuk menyaksikan kebesaran Tuhannya sehingga dia tidak lagi merasakan sakit karena musibah yang sedang dialaminya. Inilah yang dikerjakan oleh orang-orang yang ahli ma'rifat (mengenal Allah) dan cinta kepada Allah. Malah terkadang karena musibah itulah mereka merasa nikmat dengan pengamatan hati mereka terhadap kebesaran kekasih mereka (Allah Subhanahu Wa Ta'ala).

Bagaimana Orang Barbar Masuk Islam

BAGAIMANA ORANG BARBAR MASUK ISLAM

"... dan barangsiapa dianugerahi hikmah itu, berarti ia benar-benar telah dianugerahi kebaikan (karunia) yang sangat banyak." (Al-Baqarah: 269).

Abdullah bin Abis Sarh berperang di Afrika Utara (Tunisia). Penduduk daerah tersebut adalah orang-orang Hami yang berkulit putih, pemimpinnya seorang dukun yang sampai saat ini belum diketahui namanya. Ketika umat Islam mendapat kemendangan pertama kali, mereka mengetahui bahwa orang-orang Hami adalah penyembah berhala, tak mengenal bahasa Arab dan ajaran Islam sedikitpun. Maka Ibnu Abis Sarh mengirimkan utusan kepada Khalifah Utsman bin Affan untuk meminta fatwa tentang apa yang harus ia lakukan terhadap mereka. Mereka bukan Ahli Kitab yang harus membayar jizyah, tetapi belum juga masuk Islam.

Dzulqarnain dan Puncak Peradaban

DZULQARNAIN DAN PUNCAK PERADABAN
Renungan Surat Al-Kahfi

Dzulqarnain adalah kisah tentang peradaban ketika mencapai puncaknya. Siapapun nama sebenarnya, tidaklah penting. Kapan ia hidup, apakah di masa Nabi Ibrahim, atau di masa Al Masih, juga bukan soal. Dzulqarnain adalah peradaban gemilang yang diawali pemberian kesempatan dari Allah lalu ia ditindaklanjuti dengan mengikuti proses dan tahapannya secara benar. "Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. Maka diapun menempuh suatu jalan." (Al-Kahfi [18]: 84-85)

Peradaban Dzulqarnain membuka akses ke dunia timur dan barat, merekonstruksi dan merehabilitasi dunia agar lebih baik, serta petualangan ke suatu tempat di antara dua bukit. Sayyid Quthb menjelaskan, "Allah telah memberikan kekuasaan padanya di muka bumi. Dia menganugerahkan kepadanya kekuasaan memerintah yang  pondasinya sangat kokoh. Dia mudahkan baginya jalan kemengangan dan kekuasaan, dan jalan-jalan membangun dan meraih karunia. Alhasil, Allah menganugerahkan padanya segala sesuatu yang menjadikan seseorang dapat berkuasa di bumi manapun ia pijak."


Empat Madzhab Satu Keluarga

Empat Madzhab Satu Keluarga
Perbedaan pendapat tak membuat mereka saling bermusuhan


Abu Hanifah adalah ulama mujtahid pendiri madzhab tertua di antara empat madzhab, yakni madzhab Hanafi. Walaupun demikian, beliau tidak gengsi menelaah kitab Imam Malik pendiri madzhab Maliki. Padahal, Abu Hanifah sendiri adalah pewaris ilmu dari Ibnu Mas'ud dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu.

Imam as-Suyuthi dalam Manakib Imam Malik menyatakan, dalam musnad Abu Hanifah juga terdapat periwayatan dari Imam Malik. Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Malik, beliau menyambut dan memuliakan Abu Hanifah saat berhaji. Lebih dari itu, kedua imam besar ini saling bermudzakarah, hingga Imam Malik memperoleh 60 ribu permasalahan dari Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan Mas'ud bin Syaibah As-Sindi dalam muqaddimah Kitab At-Ta'lim. Oleh sebab itulah, beberapa ulama Malikiyah menyatakan jika mereka menemui masalah yang tidak ada periwayatan dari Imam Malik, mereka mengambil pendapat dari Imam Abu Hanifah.