Halaman

Empat Madzhab Satu Keluarga

Empat Madzhab Satu Keluarga
Perbedaan pendapat tak membuat mereka saling bermusuhan


Abu Hanifah adalah ulama mujtahid pendiri madzhab tertua di antara empat madzhab, yakni madzhab Hanafi. Walaupun demikian, beliau tidak gengsi menelaah kitab Imam Malik pendiri madzhab Maliki. Padahal, Abu Hanifah sendiri adalah pewaris ilmu dari Ibnu Mas'ud dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu.

Imam as-Suyuthi dalam Manakib Imam Malik menyatakan, dalam musnad Abu Hanifah juga terdapat periwayatan dari Imam Malik. Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Malik, beliau menyambut dan memuliakan Abu Hanifah saat berhaji. Lebih dari itu, kedua imam besar ini saling bermudzakarah, hingga Imam Malik memperoleh 60 ribu permasalahan dari Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan Mas'ud bin Syaibah As-Sindi dalam muqaddimah Kitab At-Ta'lim. Oleh sebab itulah, beberapa ulama Malikiyah menyatakan jika mereka menemui masalah yang tidak ada periwayatan dari Imam Malik, mereka mengambil pendapat dari Imam Abu Hanifah.


Apa yang dilakukan Imam As-Syafi'i tidak berbeda dengan para mujtahid sebelumnya. Beliau berguru kepada Imam Malik untuk menyimak Al Muwathta'. Dan ketika menuju Baghdad dari Yaman pada tahun 184 H, beliau juga menjalin hubungan dan mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan serta Yusuf bin As-Simti yang merupakan sahabat Abu Hanifah. Oleh karena itu, beliau dikenal sebagai ulama yang menyatukan dua pemikiran fiqh: Madinah dan Iraq.

Sedangkan Ahmad bin Hanbal sendiri mengambil ilmu dari Imam Abu Yusuf selama tiga tahun, disamping mengkaji kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang keduanya merupakan sahabat Imam Abu Hanifah. Kemudian, beliau juga mengambil ilmu fiqh dari Imam As-Syafi'i ketika tiba di Iraq tahun 195 H.
Bahkan, karena amat cinta terhadap gurunya, Imam Ahmad selalu mendo'akan Imam As-Syafi'i setelah shalat dalam waktu 40 tahun.


Berdasarkan berbagai kisah di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya para imam dari empat madzhab tersebut merupakan satu keluarga dalam berkhidmat terhadap syari'at Allah Subhanahu Wata'ala. Dan hasilnya, mereka saling menghormati satu sama lain dan tidak saling mencela tatkala berbeda pendapat.

Hal itu bisa dilihat bagaimana Imam As-Syafi'i menghormati pendapat Imam Abu Hanifah. Ketika berada di Baghdad dan kebetulan melaksanakan shalah Subuh di dekat makam Abu Hanifah, beliau memilih tidak membaca qunut.

Demikian pula dalam beberapa bab fiqh, Imam As-Syafi'i berupaya untuk menghindari khilaf dengan para mujtahid lainnya. Ini terlihat dalam pembahasan masalah i'tikaf. Beliau memandang sah i'tikaf walau hanya sebentar menetap di masjid. Namun beliau menyatakan, "Dan aku lebih suka satu hari. Dan aku menyatakan bahwa hal itu mustahab untuk keluar dari khilaf, karena Abu Hanifah memandang tidak sah jika kurang dari sehari."

Menolak Dijadikan Madzhab Resmi

Pernah Khalifah Manshur menyatakan kepada Imam Malik, bahwa ia bertekad memperbanyak Al Muwathta' untuk disebarkan di seluruh negeri agar negeri-negeri itu mengikutinya dan tidak mengambil pelajaran dari kitab lainnya. Namun Imam Malik menolak usulan itu, malah beliau menyarankan agar para penduduk memilih sendiri.

Di riwayat lain juga disebutkan bahwa Harun Ar-Rasyid berencana menggantungkan Al Muwathta' di Ka'bah dan mewajibkan semua pihak untuk mengikutinya. Namun Imam Malik menolaknya, karena para Sahabat Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wasallam sendiri berbeda dalam furu', sedangkan mereka menyebar di seluruh wilayah.

Ikhtilaf Tidak Merusak Persahabatan

Yang perlu dijadikan suri teladan dari para ulama salaf adalah cara mereka menyikapi perbedaan pendapat, hingga tidak menyebabkan ukhuwah menjadi rusak. Imam As-Syafi'i pernah terlibat perdebatan dengan Yunus bin Abdil A'la. Namun setelah peristiwa itu, sang pendebat yang juga merupakan sahabat dekatnya malah menaruh rasa hormat. Yunus berkata, "Aku belum pernah melihat orang yang lebih berakal daripada As-Syafi'i. Suatu hari aku mendebatnya dalam suatu masalah, kemudian kami berpisah. Namun, setelah itu ia menemuiku dan menggandeng tanganku kemudian mengatakan, 'Wahai Abu Musa, bukankah lebih baik kita tetap menjadi saudara walau kita berbeda dalam satu masalah?"

Demikian pula pada saat Imam Ahmad dan Ali bin Al-Madini berdebat masalah persaksian, kedua suara mereka pun meninggi hingga ada yang mengira keduanya bakal tidak akur. Namun nyatanya mereka tetap akur-akur saja. Bahkan saat Ali bin Al-Madini hendak pergi, Imam Ahmad menuntun kendaraan yang ditunggangi Ali.

(Dikutip dari: Thoriq, "Empat Madzhab Satu Keluarga". Hidayatullah Edisi 8/XXIV/Desember 2011)